Bentuk
Pelanggaran Etika Bisnis Dalam Kegiatan Berbisnis Di Indonesia
Mempraktekkan
bisnis dengan etiket berarti mempraktekkan tata cara bisnis yang sopan dan
santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling
menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor,
sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam
organisasi. Itu berupa senyum — sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih,
tidak menyalahgunakan kedudukan dan kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol
diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain.
Dengan
kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan
rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra
pribadi dan perusahaan. Berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan
aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut
moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan.
Jika
aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah
tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur
dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan
masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral
Berikut
adalah bentuk-bentuk pelanggaran etika bisnis dan contoh pelanggaran etika
dalam kegiatan bisnis di Indonesia :
1. Pelanggaran
etika bisnis terhadap hukum
Contoh
pelanggaran tersebut seperti sebuah perusahaan X karena kondisi perusahaan yang
pailit akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam
melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali tidak memberikan pesangon sebagaimana
yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini
perusahaan X dapat dikatakan melanggar prinsip kepatuhan terhadap hukum.
2. Pelanggaran
etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah
Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran baru
sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru.
Pungutan sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan
mendaftar, sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar.
Disamping itu tidak ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan
uang itu kepada wali murid. Setelah didesak oleh banyak pihak, yayasan baru
memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk pembelian seragam guru.
Dalam kasus ini, pihak yayasan dan sekolah dapat dikategorikan melanggar
prinsip transparansi.
3.Pelanggaran etika
bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah
RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan
mendaftar PNS secara otomotis dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah
seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus
karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola, dalam hal ini direktur,
sehingga segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan
Pengurus. Pihak Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai
kebijakan tersebut. Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan
diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip
akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit
4. Pelanggaran
etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah
perusahaan PJTKI di Yogyakarta melakukan rekrutmen untuk tenaga baby
sitter. Dalam pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji
akan mengirimkan calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan
dikirim ke negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa
segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi
berangkat ke negara tujuan. B yang tertarik dengan tawaran tersebut langsung
mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7 juta untuk ongkos administrasi
dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2 bulan training, B tak kunjung
diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada kejelasan. Ketika
dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan, begitu
seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut
telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai
calon TKI yang seharusnya diberangkatkan ke negara lain tujuan untuk bekerja.
5. Pelanggaran
etika bisnis terhadap prinsip kewajaran
Sebuah
perusahaan properti ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin membangun
rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling
perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi
kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi
lainnya. Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan
tanah, karena setiap kali akan membayar pihak developerselalu menolak
dengan alasan belum ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang
aneh adalah di kawasan kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi
izin pembangunan rumah, sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan
rumah mereka sudah dibangun semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu
adalah ingin memberikan pelajaran kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini
telah memprovokasi konsumen lainnya untuk melakukan penuntutan segera pemberian
izin pembangunan rumah. Dari kasus ini perusahaan properti tersebut telah
melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen)
dengan alasan yang tidak masuk akal.
6. Pelanggaran
etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah
perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah perusahaan
kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan pihak
pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam
pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi
bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan
kondisi bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak
perusahaan kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena
tidak memenuhi spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan
perusahaan pengembang
7. Pelanggaran
etika bisnis terhadap prinsip empati
Seorang
nasabah X dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar angsuran mobil sesuai
tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah memberitahukan kepada
pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar angsuran, namun tidak
mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah jatuh tempo pihak
perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan mengancam akan
mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih dengan cara
yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam kasus
ini kita dapat mengkategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran
prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan
peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.
Faktor-faktor
pebisnis melakukan pelanggaran etika bisnis
Pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan pebisnis dilatarbelakangi oleh berbagai hal. Salah satu hal
tersebut adalah untuk mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan
dampak buruk yang terjadi selanjutnya. Faktor lain yang membuat pebisnis
melakukan pelanggaran antara lain :
1.
Banyaknya kompetitor baru dengan produk
mereka yang lebih menarik
2.
Ingin menambah pangsa pasar
3.
Ingin menguasai pasar.
Dari
ketiga faktor tersebut, faktor pertama adalah faktor yang memiliki pengaruh
paling kuat. Untuk mempertahankan produk perusahaan tetap menjadi yang utama,
dibuatlah iklan dengan sindiran-sindiran pada produk lain. Iklan dibuat hanya
untuk mengunggulkann produk sendiri, tanpa ada keunggulan dari produk tersebut.
Iklan hanya bertujuan untuk menjelek-jelekkan produk iklan lain.
Selain
ketiga faktor tersebut, masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi.
Gwynn Nettler dalam bukunya Lying, Cheating and Stealing memberikan
kesimpulan tentang sebab-sebab seseorang berbuat curang, yaitu :
1.
Orang yang sering mengalami kegagalan
cenderung sering melakukan kecurangan.
2.
Orang yang tidak disukai atau tidak
menyukai dirinya sendiri cenderung menjadi pendusta.
3.
Orang yang hanya menuruti kata hatinya,
bingung dan tidak dapat menangguhkan keinginan memuaskan hatinya, cenderung
berbuat curang.
4.
Orang yang memiliki hati nurani
(mempunyai rasa takut, prihatin dan rasa tersiksa) akan lebih mempunyai rasa
melawan terhadap godaan untuk berbuat curang.
5.
Orang yang cerdas (intelligent)
cenderung menjadi lebih jujur dari pada orang yang dungu (ignorant).
6.
Orang yang berkedudukan menengah atau
tinggi cenderung menjadi lebih jujur.
7.
Kesempatan yang mudah untuk berbuat
curang atau mencuri, akan mendorong orang melakukannya.
8.
Masing-masing individu mempunyai
kebutuhan yang berbeda dan karena itu menempati tingkat yang berbeda, sehingga
mudah tergerak untuk berbohong, berlaku curang atau menjadi pencuri.
9.
Kehendak berbohong, main curang dan
mencuri akan meningkat apabila orang mendapat tekanan yang besar untuk mencapai
tujuan yang dirasakannya sangat penting.
10.
Perjuangan untuk menyelamatkan nyawa
mendorong untuk berlaku tidak jujur.
Sumber :
http://tantipuspita.blogspot.co.id/2012/05/perusahaan-melanggar-aspek-hukum.html