Jumat, 28 April 2017

HUKUM PERDATA

Nama : Vera Agustin Tiantika
Npm : 27212558
PASAL – PASAL DIDALAM HUKUM PERDATA

A.    HUKUM DAGANG
Hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul dari lapangan perusahaan. Istilah perdagangan memiliki akar kata dagang. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah  dagang diartikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan. Istilah dagang dipadankan dengan jual beli atau niaga. Sebagai suatu konsep, dagang secara sederhana dapat diartikan sebagai perbuatan untuk membeli barang dari suatu tempat untuk menjualnya kembali di tempat lain atau membeli barang pada suatu saat dan kemudian menjualnya kembali pada saat lain dengan maksud untuk memperoleh kuntungan. Perdagangan berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan dagang (perihal dagang) atau jual beli atau perniagaan (daden van koophandel) sebagai pekerjaan sehari-hari.
Ada istilah lain yang perlu untuk dijajarkan dalam pemahaman awal mengenaihukum dagang, yaitu pengertian perusahaan dan pengertian perniagaan. Pengertian perniagaan dapat ditemukan  dalam kitab undang-undang hukum dagang sementara istilah perusahaan tidak.
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sebanarnya merupakan bagian dari hukum perdata, khususnya mengenai perikatan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kita kenal sebagai Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) buku III adalah tentang perikatan. Jelaslah bahwa sumber hukum dagang Indonesia yang utama adalah KUHD dan KUHPer (buku III). Hukum dagang merupakan lex specialis dan hukum perdata mengenai perikatan merupakan lex generalis, yang berarti sepanjang hukum dagang (KUHD) tidak mengatur akan berlaku hukum perikatan (KUHPer buku III) (Soedjono Dirdjosisworo, 2006 : 1).
KUHD yang mulai berlaku di Indonesia pada 1Mei 1848 terbagi atas dua dkitab dan 23 bab. Kitab I terdiri dari 10 bab kitab II terdiri dari 13 bab. Isi pokok dari KUHD Indonesia itu adalah:
                              1.            Kitab pertama berjudul : TENTANG DAGANG UMUMNYA yang memuat :
Bab I : Dihapuskan (menurut Stb. 1938/276 yang mulai berlaku pada 17 Juli 1938, Bab I yang berjudul : “Tentang pedagang-pedagang dan tentang perbuatan dagang” yang meliputi pasal 2,3,4 dan 5telah dihapuskan).
Bab II  :Tentang pemegangan buku.
Bab III  :Tentang beberapa jenis perseroan.
Bab IV  :Tentang bursa dagang, makelar dan kasir.
Bab V  :Tentang komisioner, ekspeditur, pengangkut dan tentang juragan-juragan yang melalui sungai dan perairan darat.
Bab VI : Tentang surat wesel dan surat order.
Bab VII : Tentang cek, promes dan kuitansi kepala pembawa (aan toonder).
Bab VIII : Tentang reklame atau penuntutan kembali dalam hal kepailitan.
Bab IX : Tentang asuransi atau pertanggungan seumumnya.
Bab X : Tentang pertanggungan (asuransi) terhadap bahaya kebakaran, bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipenuhi dan pertanggungan jiwa.
                              2.            Kitab kedua yang berjudul : TENTANG HAK-HAK DAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN YANG TERBIT DARI PELAYARAN, yang memuat (Hukum Laut). (C.S.T. Kansil. 1985. Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Aksara baru. )
B.     HUKUM HUTANG PIUTANG
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terjemahan Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut:
            “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
            Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:
1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.    Suatu hal tertentu.
4.    Suatu sebab yang halal.
Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), telah mengatur sebagai berikut:

Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Pasal 379 a KUHP sebagai salah satu pasal sisipan memang mengatur adanya kriminalisasi bagi seseorang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan membeli barang dengan cara berutang, dengan maksud sengaja tidak akan membayar lunas barang tersebut. Namun delik ini membutuhkanpembuktian yang khusus, yaitu seberapa banyak korban yang diutangi oleh pelaku dengan cara yang serupa (flessentrekkerij).
C.     HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.      Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.      Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum dan perwakilan sukarela.
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata )
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata )
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata )
Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
D.    KONTRAK KERJASAMA
Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
c. jabatan atau jenis pekerjaan
d. tempat pekerjaan
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja dianggap sah atau tidak maka wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa :
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
·   kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
·   kecakapan untuk membuat suatu perikatan
·   suatu pokok persoalan tertentu
·   suatu sebab yang tidak terlarang
Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa :
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
·   kesepakatan kedua belah pihak
·   kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
·   adanya pekerjaan yang diperjanjikan
E.     HUKUM BURUH/KARYAWAN DENGAN PERUSAHAAN/ORGANISASI
Perjanjian perburuhan ialah perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang telah terdaftar pada Kementrian Perburuhan dengan majikan, maikan-majikan, perkumpulan majikan berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja (pasal 1 (1) UU No. 21 Tahun 1954).
Dalam pengertian tentang perjanjian perburuhan yang tercantum dalam UU No. 21 Tahun 1954 dapat disimpulkan ada dua hal, yaitu tentang subjek perjanjian perburuhan dan objek perjanjian perburuhan.
Ada dua pihak, yaitu pihak serikat buruh atau serikat-serikat buruh dan pihak majikan atau majikan-majikan atau perkumpulan majikan yang berbadan hukum.
Objek perjanjian perburuhan atau isi perjanjian perburuhan pada umumnya adalah syarat-syarat yang harus dieprhatikan dalam pembuatan perjanjian kerja. Ia merupakan hasil perundingan antara pihak-pihak dalam perjanjian perburuhan yang mendekati keinginan buruh dan majikan. Inilah yang membedakan perjanjian perburuhan dengan peraturan majikan. Yang disebutkan terakhir ini sepenuhnya merupakan keinginan majikan, sehingga tidak jarang mengandung hal hal yang merugikan buruh.
Menurut pasal 2(1) UU No 21 Tahun 1954 dan Permen No. 49 Tahun 1954 tentang Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan, yaitu:
a. Perjanjian perburuhan harus dibuat dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak, atau dibuat dalam bentuk akta otentik atau akta resmi
b. Perjanjian perburuhan harus memuat :
1.      Nama, tempat kedudukan serta alamat serikat buruh
2.      Nama, tempat kedudukan serta alamat majikan atau perkumpulan majikan yang berbadan hukum
3.      Nomor serta tanggal pendaftaran serikat buruh pada Kementrian Perburuhan
c. Perjanjian perburuhan harus dibuat sekurang-kurangnya rangkap tiga. Kementrian Perburuhan harus diberi satu lembar untuk dimasukkan dalam daftar.
d. Perjanjian perburuhan hanya dapat diselenggarakan untuk waktu paling lam dua tahun. Waktu ini dapat diperpanjang paling lama satu tahun.
Peraturan perusahaan atau reglemen perusahaan di dalamnya berisi tentang syarat-syarat kerja yang berlaku bagi sebagian atau seluruh buruh yang bekerja pada perusahaan (atau majikan) itu. Ada perbedaan antara peraturan perusahaan dengan perjanjian perburuhan. Perbedaannya ialah peraturan perusahaan dibuat secara sepihak oleh perusaaan atau majikan, sedang perjanjian perburuhan dibuat dan ditentukan bersama antara serikat buruh dengan serikat pengusaha (majikan). Karena dibuat secara sepihak, maka sudah jelas bahwa isinya adalah memaksimalkan kewajiban buruh dan meminimalkan hak buruh, serta memaksimalkan hak majikan dan meminimalkan kewajiban majikan.
Oleh karena adanya hal di atas maka dalam pasal 1601j KUHPer ditegaskan bahwa peraturan perusahaan hanya mengikat buruh apabila buruh secara tertulis menyatakan persetujuannya terhadap peraturan perusahaan tersebut. Jika tidak demikian, akan sangat tidak adil jika buruh harus melakukan sesuatu yang tidak pernah ia setujui atau snaggupi. Persetujuan tertulis dari buruh saja tidak cukup membuat peraturan perusahaan yang mengikat buruh, sebab masih ada syarat lainnya, yaitu :
1.      Selembar lengkap peraturan perusahaan itu diberikan kepada buruh secara cuma-Cuma
2.      Oleh atau atas nama majikan telah diserahkan kepada Kementrian Perburuhan selembar lengkap peraturan perusahaan yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan tersedia dibaca oleh umum.
3.      Selembar lengkap peraturan perusahaan ditempelkan dan tetap berada di suatu tempat yang mudah didatangi buruh, dan sedapat mungkin dalam ruangan bekerja, hingga dapat dibaca dengan terang.
Syarat-syarat kumulatif yang terdapat dalam pasal 1601j tersebut pada dasarnya dimaksudkan supaya majikan tidak secara sepihak bermaksud menguntungkan dirinya dengan cara membebankan banyak kewajiban kepada buruh.


SUMBER:

http://www.sumbbu.com/2016/05/hukum-ketenagakerjaan-hubungan-kerja.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar