Nama : Vera Agustin Tiantika
Npm : 27212558
PASAL
– PASAL DIDALAM HUKUM PERDATA
A. HUKUM
DAGANG
Hukum dagang adalah hukum perikatan yang
timbul dari lapangan perusahaan. Istilah perdagangan memiliki akar kata dagang.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah dagang diartikan
sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk
memperoleh keuntungan. Istilah dagang dipadankan dengan jual beli atau niaga.
Sebagai suatu konsep, dagang secara sederhana dapat diartikan sebagai perbuatan
untuk membeli barang dari suatu tempat untuk menjualnya kembali di tempat lain
atau membeli barang pada suatu saat dan kemudian menjualnya kembali pada saat
lain dengan maksud untuk memperoleh kuntungan. Perdagangan berarti segala
sesuatu yang berkaitan dengan dagang (perihal dagang) atau jual beli atau
perniagaan (daden van koophandel) sebagai pekerjaan sehari-hari.
Ada istilah lain yang perlu untuk
dijajarkan dalam pemahaman awal mengenaihukum dagang, yaitu pengertian perusahaan dan pengertian perniagaan. Pengertian
perniagaan dapat ditemukan dalam kitab undang-undang hukum dagang sementara istilah perusahaan tidak.
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang
mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sebanarnya merupakan
bagian dari hukum perdata, khususnya mengenai perikatan yang diatur dalam
Burgerlijk Wetboek (BW) yang kita kenal sebagai Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) buku III adalah tentang perikatan. Jelaslah bahwa sumber hukum dagang
Indonesia yang utama adalah KUHD dan KUHPer (buku III). Hukum dagang merupakan
lex specialis dan hukum perdata mengenai perikatan merupakan lex generalis,
yang berarti sepanjang hukum dagang (KUHD) tidak mengatur akan berlaku hukum
perikatan (KUHPer buku III) (Soedjono Dirdjosisworo, 2006 : 1).
KUHD yang mulai berlaku di Indonesia pada 1Mei 1848
terbagi atas dua dkitab dan 23 bab. Kitab I terdiri dari 10 bab kitab II
terdiri dari 13 bab. Isi pokok dari KUHD Indonesia itu adalah:
1.
Kitab pertama berjudul : TENTANG DAGANG UMUMNYA yang
memuat :
Bab I : Dihapuskan (menurut Stb. 1938/276 yang mulai
berlaku pada 17 Juli 1938, Bab I yang berjudul : “Tentang pedagang-pedagang dan
tentang perbuatan dagang” yang meliputi pasal 2,3,4 dan 5telah dihapuskan).
Bab II :Tentang pemegangan buku.
Bab III :Tentang beberapa
jenis perseroan.
Bab IV :Tentang bursa
dagang, makelar dan kasir.
Bab V :Tentang
komisioner, ekspeditur, pengangkut dan tentang juragan-juragan yang melalui
sungai dan perairan darat.
Bab VI : Tentang surat
wesel dan surat order.
Bab VII : Tentang cek, promes dan kuitansi kepala pembawa (aan toonder).
Bab VIII : Tentang reklame atau penuntutan kembali dalam hal kepailitan.
Bab IX : Tentang asuransi atau pertanggungan seumumnya.
Bab X : Tentang pertanggungan (asuransi) terhadap
bahaya kebakaran, bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum
dipenuhi dan pertanggungan jiwa.
2.
Kitab kedua yang berjudul : TENTANG HAK-HAK DAN
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN YANG TERBIT DARI PELAYARAN, yang memuat (Hukum Laut).
(C.S.T. Kansil. 1985. Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Aksara baru.
)
B.
HUKUM HUTANG PIUTANG
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang
diatur dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terjemahan
Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Secara
khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam
diatur dalam Pasal 1754 KUH
Perdata.
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu
perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu
hal tertentu.
4. Suatu
sebab yang halal.
Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), telah
mengatur sebagai berikut:
Tidak seorangpun atas
putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan
ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Pasal 379 a KUHP sebagai salah satu pasal sisipan memang mengatur adanya
kriminalisasi bagi seseorang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau
kebiasaan membeli barang dengan cara berutang, dengan maksud sengaja tidak akan
membayar lunas barang tersebut. Namun delik ini membutuhkanpembuktian
yang khusus, yaitu seberapa
banyak korban yang diutangi oleh pelaku dengan cara yang serupa (flessentrekkerij).
C.
HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber hukum
perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber
dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH
Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.
Perikatan yang
timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.
Perikatan yang
timbul dari undang-undang
3.
Perikatan terjadi
bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum dan
perwakilan sukarela.
Sumber perikatan berdasarkan
undang-undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata )
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata )
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata )
Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata )
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata )
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata )
Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
D.
KONTRAK KERJASAMA
Kontrak Kerja/Perjanjian
Kerja menurut Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Menurut pasal 54 UU
No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya
harus memuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
c. jabatan atau jenis pekerjaan
d. tempat pekerjaan
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para
pihak dalam perjanjian kerja.
Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja
dianggap sah atau tidak maka wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa :
Supaya terjadi
persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
·
kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya
·
kecakapan untuk membuat suatu perikatan
·
suatu pokok persoalan tertentu
·
suatu sebab yang tidak terlarang
Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga
menegaskan bahwa :
Perjanjian kerja
dibuat atas dasar:
·
kesepakatan kedua belah pihak
·
kemampuan atau kecakapan melakukan
perbuatan hukum
·
adanya pekerjaan yang diperjanjikan
E.
HUKUM BURUH/KARYAWAN DENGAN
PERUSAHAAN/ORGANISASI
Perjanjian perburuhan ialah
perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang
telah terdaftar pada Kementrian Perburuhan dengan majikan, maikan-majikan,
perkumpulan majikan berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat
syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja (pasal 1 (1) UU
No. 21 Tahun 1954).
Dalam pengertian tentang perjanjian
perburuhan yang tercantum dalam UU No. 21 Tahun 1954 dapat disimpulkan ada dua
hal, yaitu tentang subjek perjanjian perburuhan dan objek perjanjian
perburuhan.
Ada
dua pihak, yaitu pihak serikat buruh atau serikat-serikat buruh dan pihak
majikan atau majikan-majikan atau perkumpulan majikan yang berbadan hukum.
Objek
perjanjian perburuhan atau isi perjanjian perburuhan pada umumnya adalah
syarat-syarat yang harus dieprhatikan dalam pembuatan perjanjian kerja. Ia
merupakan hasil perundingan antara pihak-pihak dalam perjanjian perburuhan yang
mendekati keinginan buruh dan majikan. Inilah yang membedakan perjanjian
perburuhan dengan peraturan majikan. Yang disebutkan terakhir ini sepenuhnya
merupakan keinginan majikan, sehingga tidak jarang mengandung hal hal yang
merugikan buruh.
Menurut pasal 2(1) UU No 21 Tahun 1954 dan Permen No. 49 Tahun 1954 tentang Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan, yaitu:
a. Perjanjian perburuhan harus
dibuat dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak, atau dibuat
dalam bentuk akta otentik atau akta resmi
b. Perjanjian perburuhan harus
memuat :
1. Nama, tempat
kedudukan serta alamat serikat buruh
2. Nama, tempat
kedudukan serta alamat majikan atau perkumpulan majikan yang berbadan hukum
3. Nomor serta
tanggal pendaftaran serikat buruh pada Kementrian Perburuhan
c. Perjanjian perburuhan harus dibuat
sekurang-kurangnya rangkap tiga. Kementrian Perburuhan harus diberi satu lembar
untuk dimasukkan dalam daftar.
d. Perjanjian perburuhan hanya dapat diselenggarakan
untuk waktu paling lam dua tahun. Waktu ini dapat diperpanjang paling lama satu
tahun.
Peraturan
perusahaan atau reglemen perusahaan di
dalamnya berisi tentang syarat-syarat kerja yang berlaku bagi sebagian atau
seluruh buruh yang bekerja pada perusahaan (atau majikan) itu. Ada perbedaan
antara peraturan perusahaan dengan perjanjian perburuhan. Perbedaannya ialah
peraturan perusahaan dibuat secara sepihak oleh perusaaan atau majikan, sedang
perjanjian perburuhan dibuat dan ditentukan bersama antara serikat buruh dengan
serikat pengusaha (majikan). Karena dibuat secara sepihak, maka sudah jelas
bahwa isinya adalah memaksimalkan kewajiban buruh dan meminimalkan hak buruh,
serta memaksimalkan hak majikan dan meminimalkan kewajiban majikan.
Oleh karena
adanya hal di atas maka dalam pasal 1601j KUHPer ditegaskan
bahwa peraturan perusahaan hanya mengikat buruh apabila buruh secara tertulis
menyatakan persetujuannya terhadap peraturan perusahaan tersebut. Jika tidak
demikian, akan sangat tidak adil jika buruh harus melakukan sesuatu yang tidak
pernah ia setujui atau snaggupi. Persetujuan tertulis dari buruh saja tidak
cukup membuat peraturan perusahaan yang mengikat buruh, sebab masih ada syarat
lainnya, yaitu :
1. Selembar
lengkap peraturan perusahaan itu diberikan kepada buruh secara cuma-Cuma
2. Oleh atau
atas nama majikan telah diserahkan kepada Kementrian Perburuhan selembar
lengkap peraturan perusahaan yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan
tersedia dibaca oleh umum.
3. Selembar
lengkap peraturan perusahaan ditempelkan dan tetap berada di suatu tempat yang
mudah didatangi buruh, dan sedapat mungkin dalam ruangan bekerja, hingga dapat
dibaca dengan terang.
Syarat-syarat
kumulatif yang terdapat dalam pasal 1601j tersebut pada dasarnya dimaksudkan
supaya majikan tidak secara sepihak bermaksud menguntungkan dirinya dengan cara
membebankan banyak kewajiban kepada buruh.
SUMBER:
http://www.sumbbu.com/2016/05/hukum-ketenagakerjaan-hubungan-kerja.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar